Senja Yang Di Nanti

Juni 24, 2019


Aku Kirana, si gadis pecinta senja. Begitu orang-orang memanggilku.

Aku tidak tahu dari mana asal muasal pangilan itu, tapi aku suka. Senja memang menjadi satu hal yang aku nantikan di hampir setiap harinya. Apalagi sembari ditemani secangkir kopi hangat, nikmatnya tiada tara. Menulis adalah hobiku, entah sejak kapan aku menyukai itu. Sejak kecil aku ingin sekali bisa menerbitkan satu buku hasil karyaku, tapi semakin dewasa aku rasa minatku untuk menulis mulai berkurang. Mungkin karna kesibukan dengan rutinitas sehari-hariku yang super padat, atau mungkin juga karna aku tidak pernah bisa menyelesaikan satu karya tulisku hingga benar-benar selesai. Semua berakhir gantung dan kehabisan ide cerita, membuat rasa malasku semakin parah.

Saat hobi menulisku perlahan kutinggalkan, aku mulai mencari hal-hal baru yang bisa mengisi waktu kosongku. Menggali potensi dan mencari tahu passion apa yang aku miliki. Dan aku tersadar, diusiaku yang sudah menginjak angka 20, aku belum pernah merasakan indahnya cinta. Mungkin aku bisa membayangkan dan merasakan apa itu cinta melalui film-film romantis favoritku, atau membaca novel-novel kisah cinta remaja yang di rekomendasikan sahabat-sahabatku, atau dengan carab yang lebih realistis yaitu mendengar cerita-cerita dari pengalaman temanku tentang hubungan mereka dan kekasihnya.

Sempat aku berfikir, “apa hanya aku yang terjebak pada rasa nyaman terhadap kesendirian?” bahkan, aku tidak pernah cemburu melihat satu persatu teman baikku memperkenalkan kekasihnya kepadaku. Bahkan ketika mereka sibuk mengukir kisah cinta seperti pasangan muda yang sedang di mabuk asmara, aku hanya sibuk memikirkan ambisiku yang besar tentang hidup tenang di masa tua. Entahlah apa aku butuh seorang pendamping untuk masa tuaku, atau aku cukup menikmati senja dengan secangkir kopi seorang diri.

Hembusan angin yang menyentuh kulit, langit jingga di penghujung hari, dan suara kicauan kawanan burung membuatku merasa tenang. Itulah gambaran senja yang tertanam di benakku. Indah dan menenagkan. Aku rasa, aku mampu menjalani hidup seorang diri tanpa kekasih. Itu fikiranku kala itu, tapi..

Pada suatu hari, saat aku kehilangan arah dan tujuan. Saat sesuatu yang aku jadikan alasan dan fokus utama dalam hidup tak lagi berarti. Aku terpuruk dan hancur. Hidupku dan semua pola pikirku berubah 180 derajat. Cinta yang aku fikir hanya bualan semata, kini menjadi hal yang aku dambakan.

Aku mendengar beberapa curhatan teman-temanku yang mengatakan, “Saat aku buntu dan hilang arah, aku mencurahkan semua kegundahan pada kekasihku. Dan aku merasa lega setelahnya."

Selama ini, yang aku tahu bahwa aku terlalu kuat dan mandiri sebagai seorang wanita. Seolah-olah aku tidak butuh apapun dari seseoarang yang bisa disebut “Kekasih” untuk membantu menyelesaikan segala kegundahanku.

Aku lupa bahwa aku adalah seorang manusia. Yang berarti aku makhluk sosial. Aku tidak mungkin menghabiskan sisa umurku hanya seorang diri. Tapi aku juga tidak tahu harus memulai dari mana.

Temanku yang selalu setia membantuku. Mencarikan pria yang tepat untukku, memperkenalkanku dengan teman prianya. Walaupun tidak satupun berhasil. Mencari sesorang yang pas di hati memang sulit. Tapi harap tidak pernah pudar, aku terus berusaha sembari berdoa. Dan menunggu jawaban dari Tuhan atas segala doa-doaku. Beberapa bulan aku mencoba hal-hal baru dan berharap menemui kenalan baru yang mungkin bisa saja dia menjadi jodohku, tapi usaha ku belum berbuahkan hasil. Aku mulai kembali terbiasa pada kesendirianku. Entah apa yang salah pada diriku. Dan aku memutuskan untuk mencari kebahagiaan ku sendiri.

Ada rutinitas baru dihidupku. Aku mulai suka menghadiri dan bergabung dalam kegiatan-kegiatan sosial. Untuk mengisi waktu luangku ketika libur kuliah juga tentunya. Kegiatan sosial yang aku lakukan juga berbagai macam seperti, menolong korban-korban bencana, mengunjungi panti-panti sosial, menjadi tenaga pengajar sukarelawan di kota-kota pedalaman, dan masih banyak lagi. Pengalaman tak terduga yang aku dapatkan saat aku aktif di komunitas tersebut adalah ketika aku tanpa sengaja bertemu dengan teman kecilku yang sudah sangat lama tidak aku temui. Bahkan aku sangat pangling dibuatnya, dia yang lebih dulu menyapaku.

Katanya, “tak banyak yang berubah dari dirimu, mata hitam bulat dan senyum manis dengan lesung pipi itu masih sama.”

Sontak saja aku terdiam dan menoleh ke arah suara itu bersal. Aku terdiam dan tanpa aku sadari, mataku mulai berkaca-kaca. Mulutku hanya diam dan bibirku tersenyum tipis.

“Arkan?”, tanyaku padanya.

“Aku fikir kamu lupa padaku, aku ingin ngobrol banyak denganmu tapi setelah kita selesaikan semua tugas ini dulu ya”, jelas arkan sembari membantuku mengangkat barang-barang logistik di camp pengungsian.

Sudah dua hari aku menjadi seukarelawan di kampung itu, kebakaran hebat menghabisakan 2 desa dalam satu malam. Dan komunitas yang aku ikuti turut membantu para korban semaksimal mungkin. Aku mendapatkan tugas di bagian Logistic. Dan Arkan, aku tidak tahu bagaimana dia bisa ada disana bersama ku.

Setelah semua tugas ku tuntaskan, aku meminum secangkir air hangat sembari menikmati angin malam yang sendu di depan camp pengungsian. Wajah seorang anak terlihat sedang berupaya mengatasi trauma mendalam yang dialaminya. Terdengar pula keluh kesah beberapa pasang suami isteri yang berdiskusi dan kebingungan akan tinggal dimana mereka setelah ini. Aku berjalan perlahan menjauhi camp karena aku tak mampu melihatnya lebih lama lagi. Hati ku seolah teriris piasau belati ketika mendengarnya. Sangat sendu suasana pengungsian malam itu. Ku tatap pekat langit malam, tidak ada bintang yang menghiasinya dan hanya ada bulan sendiri saja.

“Apa kabar kamu, Na? sudah lama sekali kita tidak berjumpa. Aku merindukanmu, sungguh.”, suara Arkan terdengar begitu dekat. Dia sudah berada persis di belakangku rupanya.

Tanpa menoleh ke belakang, aku menjawab, “Baik, kamu apa kabar?”

“Seperti yang kamu lihat, aku sehat dan tumbuh dewasa. Dan seperti yang kamu katakan dulu, ingin memulai semuanya ketika kita dewasa. Kamu ingat?”, Tanya Arkan padaku.

Sekali lagi, pertanyaan dan kata-kata mengejutkan terlontar dari mulut Arkan. Dan aku masih tetap tidak ingin membalik badan untuk menatapnya. Karna air mataku mulai jatuh saat itu. Aku sangat merindukannya, tapi aku terlalu benci untuk mengatakannya. Suara langkah kaki mendekatiku, aku merasakan aroma tubuhnya.

“Maafkan aku yang tidak menepati janji untuk kembali sebelum kamu mencari. Aku terlalu sibuk memikirkan diriku sendiri, memantaskannya untukmu. Agar saat aku kembali, aku sudah dewasa seperti yang kamu mau”, Jelas Arkan tanpa henti. Kali ini, Arkan sudah berada persis di sampingku dan berdiri menatapku. “Jangan nangis, Na. Aku sudah disini.”

Sambil menyeka air mataku, aku memberanikan diri menatap kedua bola matanya. “Bagaimana bisa kamu ada disini?”, tanyaku sembari menahan emosi yang hampir tidak bisa ku kendalikan.

“Memang kamu butuh penjelasan itu?”, Tanya Arkan padaku.

Tanpa menjawab, aku berbalik badan hendak pergi meninggalkan Arkan.

“Kamu percaya takdir? Pikiranku bahkan sudah buntu, aku tidak tahu harus mencari kamu kemana lagi. Aku pasrah jika ternyata Tuhan tidak menjadikan kita satu. Aku pasrah bila akhirnya yang kudengar keluh kesahmu tentang rumah tanggamu bersama pria lain. Tapi, Tuhan memberi jawaban yang aku mau, aku bertemu kamu di tempat yang tidak pernah aku duga sebelumnya. Dan aku yakin, kamu belum milik siapapun saat ini.” Arkan memberi jawaban atas pertanyaanku, seolah ingin menghentikan langkah kaki ku agar tetap bersamanya.

“Syukurlah kalau tuhan masih mau menjawab doa orang sejahat kamu, Kan. Kamu jahat, kamu sadar itu?”, Ucapku.

“Hanya maaf yang bisa aku ucap, Na. Karena aku sadar aku tidak akan mampu memutar waktu.”, Jelasnya singkat.

“Arkan kamu tahu, aku selalu menunggu kamu. Di setiap aktifitas yang aku lakukan, sesibuk apapun itu. 13 tahun lamanya, kamu janji akan datang saat senja. Setiap hari, sepulang sekolah aku berlari ke atas rumah pohon kita dan berharap kamu ada disana. Dan aku masih menikmati senja sampai saat ini, dimanapun aku berada. Walau bukan di atas rumah pohon itu lagi.”, Jelasku sambil menahan air mata yang sudah menggenang. “Aku berbohong pada diriku sendiri, bahwa aku baik-baik saja dengan kesendirianku. Aku butuh kamu, Kan.”

Arkan memelukku erat. “Sekali lagi, maafin aku Na. Harusnya aku pamit. Tapi aku tidak mampu untuk melihat wajah kamu untuk terakhir kalinya.”, Ucap Arkan padaku.

Penantianku berakhir sudah. Kini aku sadari, bukan pria lain yang tak cocok denganku. Namun, aku yang telah menutup hati 13 tahun lamanya. Dulu aku memang belum mengenal cinta, tapi beranjak dewasa memang hanya ada satu nama di hatiku. Dialah Arkan, teman kecilku yang membuat aku jatuh cinta dengan senja dan dirinya pada waktu yang sama. Siapa sangka teman kecilku kini menjadi teman hidupku. TAMAT.


You Might Also Like

0 comments

EVERY CLOUD HAS A SILVER LINING