HE HE HE
Oktober 01, 2019
Beberapa hari yang lalu, gua bertemu seorang teman. Usianya masih kisaran 18 tahun, kritis namun labil begitulah gua menggambarkan teman gua. Dia bercerita tentang keinginannya dan keluh kesahnya terhadap masa depannya nanti. Katanya, dia ingin sekali tinggal di suatu Negara yang damai, melanjutkan pendidikan disana kemudian menetap. Dari cara bicaranya seolah dia tidak ingin menginjakkan kakinya kembali ke Negeri ini karna terlalu muak. Dia muak dengan semua drama di Negeri ini dan bersikap seolah dia tidak peduli. Mungkin kalau saja temen gua ini bertemu dengan diri gua 3 atau 4 tahun lalu, gua akan sangat senang dan sependapat dengannya. Bersikap seolah pikiran kritis kami adalah benar.
Gua pikir dulu cuma gua yang berkeinginan untuk pindah Negara dan menjadi kaum Diaspora dengan alasan Negara terlalu membebani generasi muda. Ternyata, gua menemukan orang lain yang satu tujuan dengan diri gua. Katanya dia juga muak dengan Negara dan hutangnya yang bejibun, anehnya pemerintah bukannya perlahan melunasi hutang-hutang tersebut tapi malah menambah hutang-hutang lainnya. Yang berakibat secara tidak langsung rakyatlah yang di harapkan untuk membantu melunasi hutang-hutang tersebut.
Mungkin bukan cuma gua dan beberapa orang yang gua kenal berfikir serupa, tapi ribuan pemuda pemudi diluar sana tentu pernah terfikir hal yang sama di dalam kepalanya. Tapi anehnya, dulu saat hasrat gua untuk pindah Negara begitu besar, di dukung dengan ego yang sangat tinggi gua merasa itu adalah hal tepat. Iya, tanpa sadar gua ternyata mengajak diri gua untuk menjadi seorang pengecut. Pemudi pengecut yang mencoba lari dari kenyataan. Fyi, keinginan gua untuk pergi itu saat usia gua masih belasan tahun. At least antara 3 sampai 4 tahun yang lalu.
Pola pikir anak muda apatis yang penuh dengan kemarahan dan egoisme yang tinggi ternyata ga sepenuhnya dapat didengar. Sekarang gua tau gimana perasaan orang-orang sekitar gua saat itu, saat gua dengan lantang mengemukakan keinginan gua untuk pergi karena muak dengan pemerintah, pergi karena benci sama para wakil rakyat yang rakus harta dan jabatan.
Namun, setelah gua telaah dan memutar sudut pandang. Ternyata gua ga akan sanggup untuk meninggalkan Negeri ini. Bahkan gua menemukan sebuah pertanyaan besar untuk diri gua, “sebesar apa kontribusi lo untuk Negeri sampai gua bisa seangkuh itu?” Ternyata jawabannya adalah, tidak ada. Lalu kenapa gua mengeluh sebelum menjalankan sesuatu. Kenapa gua menyerah bahkan jauh sebelum waktu untuk berperang di suarakan.
Sekarang gua paham kenapa rakyat Indonesia masih ingin bertahan dengan keadaan yang tidak menyehatkan ini. Malu gua kalo inget diri gua yang dulu, yang bersikap tanpa berfikir terlebih dahulu. Negeri ini kaya, sayang jika di telantarkan. Sayang jika jatuh ke tangan orang yang salah. Seharusnya gua berusaha untuk menjaga Negeri ini, dan memberikan kontribusi agar Negeri ini lebih maju dan terpandang. Bukan malah berfikir untuk pergi dan meninggalkan tanpa berbuat apa-apa.
0 comments