"Wanita tuh kodratnya di rumah, ngurus keluarga."
Cuma karna beberapa kata, kepala gue langsung di penuhi oleh pikiran-pikiran yang cukup mengganggu. Siapa yang tidak ingin merasakan sukses? Entah itu berkaitan dengan hobi, karir, pendidikan atau keluarga. Gue rasa, menjadi sukses adalah mimpi setiap manusia. Tanpa pandang gender, ras atau agama. walau kadang ekspektasi tidak sesuai dengan realita. Selalu ada batas, seolah hanya orang-orang tertentu yang boleh bermimpi.
Terlebih, gender menjadi pembatas yang paling nyata di antara yang lainnya. Mungkin bukan cuma gue aja yang pernah dengar pertanyaan-pertanyaan tentang kodrat dan mimpi. Misalnya aja nih yang paling sering gue denger itu seperti,
“Buat apa sih wanita berpendidikan tinggi? ujung-ujungnya juga jadi ibu rumah tangga”
Dijelasin dengan cara apapun bahkan sampe mulut berbusa sekalipun, berdebat dengan orang yang sedari awal sudah memegang prinsip berlawanan dengan prinsip kita, tidak akan pernah paham dan mengerti dengan ribuan alasan di balik pentingnya mimpi yang kita miliki. Mereka hanya akan terus memegang prinsipnya untuk memandang rendah mimpi orang lain. Mengatasnamakan kodrat dan lain sebagainya seolah wanita memang di takdirkan hanya untuk menghabiskan waktu di dapur dan mengurus keluarga. Ini cukup meresahkan.
Keresahan yang gue rasakan saat ini mungkin tidak separah dengan keresahan yang dirasakan wanita-wanita sebelum adanya emansipasi. Iya, gue sadar sudah banyak wanita yang bekerja di perusahaan tertentu dan memegang jabatan tinggi. Sudah banyak juga komunitas yang di isi oleh wanita-wanita hebat dan berani. Sayangnya, gue disekelilingi oleh orang-orang yang malah menganggap kodrat jauh di atas segalanya. Maka dari itu muncul lah pikiran-pikiran yang ingin gue tuangkan di tulisan ini.
Tulisan ini pun hanya untuk menuangkan uneg uneg yang mengganggu pikiran gue dan sekedar opini gue aja.
Let's go back to the topic!
Sampai detik ini gue mikir kenapa masih ada orang yang merendahkan bahkan meredupkan semangat orang lain untuk menggapai apa yang mereka mau? (khususnya wanita). Bahkan gue pernah dapet nasihat seperti ini,
“Buat apa capek kuliah, punya gelar. Toh nanti hidup kamu di tanggung sama suami. Makanya nanti cari suami yang benar, biar ga hidup susah.”
Banyak orang diluar sana yang mati-matian mengejar impiannya bukan hanya sekedar untuk materi. Ada yang melakukan karna suka, karna dia bahagia saat melakukannya. Ada yang dia jadikan motivasi untuk bertahan hiudup. Dan menurut gue, wanita yang mempunyai mimpi adalah orang yang punya visi misi yang jelas dalam hidupnya. Yang ingin membuktikan bahwa dia pecaya pada kemampuan dirinya sendiri. Isn’t that amazing?
Sebagai wanita pun, gue jelas tau apa kewajiban yang harus gue tuntaskan. Tapi gue juga tetap akan menuntut hak gue untuk menikmati hidup yang gue punya. Maka dari itu, menurut gue jauh lebih penting mencari pasangan yang bisa mendukung penuh mimpi gue untuk tumbuh bersama dibanding mencari yang hanya bisa menafkahi secara lahir tapi tersiksa di batin.
Hidup harus seimbang kan?
Bohong kalo gue bilang gue ga suka materi. Hidup secara realistis pasti butuh biaya. Tapi, berdasarkan pengalaman yang gue lihat, materi bukanlah segalanya. Gasalah memang nasihat untuk mencari pasangan yang benar, tapi bukan berarti harus menggantungkan hidup kita sepenuhnya kepada pasangan. Gue mau menjadi wanita yang independent, tapi gue sadar kalau gue juga suka menjalani hidup bersama pasangan. So, I think life is about balance. Saling mengisi dan mengerti itu lebih penting dari pada menuntut untuk di perlakukan lebih dari yang lainnya.
Btw, jadi mau cerita sedikit tentang pangalaman gue mengenai topik ini.
Beberapa bulan lalu, gue pulang dari magang di salah satu perusahaan. Gue yang ga kuat nahan laper, akhirnya memutuskan buat makan di suatu tempat yang letaknya ga jauh dari rumah. Pas gue duduk sambil nunggu pesanan gue dateng, duduklah seorang ibu paruh baya di meja yang sama degan gue dan posisinya kita saling berhadapan. Agak canggung memang posisi tersebut. Sampe beberapa menit gue cuma senyam senyum sambil sesekali ga sengaja melakukan eye contact sama ibu itu. Dan si ibu ini mulai membuka obrolan.
"Pulang kerja atau kuliah mba?"
"Pulang kerja bu."
"Dimana?"
"Di K******a, sudirman."
"Udah lulus ya?"
"Lulus? Kuliah makasudnya bu?"
"Iya. Mbanya udah lulus kuliah?"
"Belum, saya masih semester 1. Lagi libur semester bu, makanya saya kerja"
"Agak telat ya kuliahnya?" (mungkin muka gue udah ga keliatan seperti anak baru lulus)
"Iya bu, saya baru kuliah."
"Kuliah dimana? Jurusan apa?"
"Di Y*I, jurusan Arsitektur."
Kemudian kami hanya saling diam beberapa saat. Awalnya gue pikir paling cuma basa basi. Jadi gue lanjut makan tanpa membuka obrolan kembali. Saat gue lagi asik nyuap makan, ibu ini nyeletuk,
"Arsitek itu cukup berat loh, dan sekolahnya agak lama kan? ada sekolah profesinya juga untuk dapet sertifikat profesional kalau nanti mau ngerjain proyek sendiri."
"Iya bu, yang saya tau juga begitu."
"Salut saya sama mba, umur ga jadi hambatan untuk menempuh pendidikan tinggi ya? berarti memang sudah mimpi sejak lama ya?"
"Iya bu, memang sudah cita-cita saya dari sekolah."
Jujur, dalam hati agak dongkol karna gue laper malah di tanya-tanya. Makan pun jadi terasa kurang nikmat.
"Tapi mbanya memang ga resah mikirin umur, yaa wanita kan ga bisa lama-lama mba. Ada masanya, beda sama pria. Paham kan maksud saya?"
Detik itu juga nafsu makan gue turun, dan ada sedikit rasa jengkel karna gue ga tau ibu itu maunya apa? kenapa ikut campurin hidup gue padahal dia baru ketemu sama gue 20 menitan yang lalu. Akhirnya dengan sangat yakin gue menjawab,
"Saya sih sampai sekarang belum mikir soal pasangan hidup bu, apa lagi pernikahan. Saya masih fokus sama pendidikan dan karir saya aja. Mungkin setelah lulus baru saya pikirkan semuanya."
"Gini ya mba, ini pendapat saya aja loh. Kamu tau kan kodratnya wanita? menikah dan membangun rumah tangga memang pilihan, tapi kodrat itu ada sejak kita bahkan masih ada di dalam kandungan. Saya bahas sedikit soal biologis wanita, kamu tau kan wanita ada masa suburnya. Seperti yang saya bilang, berbeda dengan pria yang tidak masalah di umur berapapun. Saran saya, mba setidaknya sudah mulai memikirkan hal seperti itu. Bermimpi boleh, mengejar cita-cita itu bagus. Tapi saya kurang setuju dengan prinsip mba yang tidak mementingkan pernikahan. Di islam pun di wajibkan menikah mba, jadi jangan sampai mba berfikir untuk melajang sampai tua. Ucapan doa loh mba"
Sontak aja pikiran gue terbuka. Memang benar apa yang ibu itu sampaikan, ga baik memang mengatur takdir dan merubah kodrat. Independent bukan berarti ga butuh. Independent bukan berarti hidup bebas yang sebebas bebasnya. Punya prinsip memang harus, tapi seharusnya gue mendengar wejangan dari yang lebih senior dulu baru memutuskan untuk berprinsip seperti apa.
Obrolan dengan ibu itulah yang merubah pola pikir gue sejauh ini. Gue ga kenal dia siapa, gue ga tau maksudnya apa. Tapi takdir mempertemukan gue dengan ibu itu dengan maksud yang baik. Dan jawaban gue yang semulanya terlihat meyakinkan, menjadi goyah seperti tidak seharusnya terlontarkan.
Memalukan..