Jika ku ingat kembali, banyak sekali kebetulan-kebetulan yang seolah telah dipersiapkan semesta untuk kami berdua. Seperti waktu pertama kali kami terpaksa berboncengan untuk mendatangi suatu event bersama, misalnya. Dan meski dengan jarak tempuh yang cukup jauh, sepanjang perjalanan di atas motor kami memilih untuk saling diam. Ia bukan lah golongan manusia yang suka bicara, bahkan ketika ditanya pun ia akan menjawab secukupnya. Sedang aku memilih untuk tidak mengusik ketenangannya.

Bertahun-tahun aku mengaguminya, mungkin masih dapat dihitung berapa kali kami saling berbincang. 

Ketika kurenungkan, biasanya aku adalah jenis manusia yang cepat merasa ilfeel pada perilaku orang-orang yang terlalu menunjukkan jati dirinya, namun sepertinya itu tidak berlaku kepadanya. Semakin ia menunjukkan sifat aslinya, aku justru semakin mengagumi kesederhananya. Seolah dia tercipta untuk selalu terlihat sempurna di mata ku. Dari cara dia berbicara, cara dia tertawa, cara dia menatap, semuanya tidak pernah gagal membuat ku kagum. Pada dirinya, aku melihat gambaran dari sebuah kutipan tentang seseorang yang tidak perlu menjadi orang lain untuk dapat dikagumi dan dicintai dengan layak. Karna ia akan selalu terlihat sempurna di mata orang yang tepat.

Dengan banyaknya kesempatan yang semesta berikan kepada ku untuk dapat dilihat olehnya, aku memilih untuk tetap tidak terlihat. Aku tidak ingin perasaan ini tumbuh berlebihan dan memunculkan banyak harap kepada ciptaanNya. Mudahnya, aku tidak ingin kecewa. Dan jika cinta itu berarti mengikhlaskan, maka aku ikhlas dengan apa pun takdirku. Karna pernah menaruh dia di dalam hatiku, merupakan hal luar biasa yang patut aku syukuri..