Self love or Selfish?

Oktober 15, 2020

Sebelumnya, gue mau minta maaf kalau tulisan gue isinya hanya tulisan-tulisan random.
Sekarang ini, setiap gue buka sosmed, hampir semua postingan yang gue baca adalah kata-kata motivasi entah berjenis narasi, puisi, atau video text. Jujur, gue senang karena sosial media sekarang menjadi tempat yang nyaman untuk orang-orang menyuarakan isi kepalanya, isi hatinya. Untuk saling mendukung supaya bisa lebih percaya diri, menyuarakan insecurity dan cara mengatasinya, kampanye tentang dampak body shaming, edukasi tentang self love dan masih banyak lagi. Is that a good view, right?

Tapi apa yang otak dan hati gue kelola tentang semua itu ternyata tidak selalu mengarah ke yang positifnya saja. Kadang gue berfikir, is that real? dan semakin lama semakin banyak pertanyaan yang menumpuk di kepala gue.

"Apa benar mereka seperti itu?"
"Apa benar mereka bahagia dengan kehidupannya, atau hanya untuk sebuah konten saja?"
"Apakah baik jika kita speak up dan show up kesedihan dan kegundahan kita?"
"Apa ga masalah jika kita memberitahu ke orang banyak soal siapa diri kita?"
"Apakah semua orang benar-benar peduli, atau hanya supaya terlihat baik didepan orang banyak?"
"Apakah membiarkan orang lain tau perasaan kita akan berefek baik dalam jangka panjang?"
"Atau semua pertanyaan itu hanya muncul dari ketakutanku sendiri saja?"

Seseorang yang menggembar-gemborkan tentang self love, faktanya justru membuat orang lain takut untuk tampil all out. (Kasus ini sempat ramai di twitter) And you know what happened in the next? Orang itu tidak pernah merasa bersalah karena kelakuannya yang sudah membody shaming orang lain karena dia merasa itu bentuk dari "Dia mencintai dirinya". Self love or Selfish?

Self love itu bukan berarti selfish. Lo selfish kalau lo ngerasa lo paling baik, paling oke, paling cinta sama diri lo sendiri, saking cintanya lo ga boleh ngerusak penglihatan lo seperti ngeliat orang-orang yang tidak good looking, misalnya. Atau lo ga boleh ngerusak indera penciuman lo karena tidak sengaja nyium bau badan orang lain yang lewat didekat lo. Terus lo ceritakan kepedihan lo akan semua pengalaman ga mengenakan itu ke followers lo di sosial media. 

Iya, mungkin benar, lo ga kenal siapa orang yang lo bicarakan, karena mereka hanya orang asing yang lo temuin tanpa sengaja. Dan mungkin orang itu ga ada di barisan followers lo, but how if ada orang lain yang sedang berpikiran buruk tentang dirinya, yang sedang merasa insecure. Bukankah akan menambah beban pikirannya lagi? membuat mereka semakin takut karena mereka sadar bahwa masih banyak orang seperti lo diluar sana yang belum bisa nerima kekurangan pada fisik orang lain?

Apa yang salah dengan tubuh yang berlemak, bokong yang hitam, kulit yang berstretch mark, ketiak yang berbulu, rambut yang keriting, kulit yang hitam, wajah berjerawat dan lainnya. Selama mereka bisa menerima semua yang ada pada dirinya, bukankah itu bukan urusan kita?

Self love menurut gue bukan hanya untuk mencintai diri kita sendiri, tapi juga menghargai apa yang ada pada diri orang lain. Karena semua orang berhak mencintai dirinya, bukan?

Lagian, bukannya self love lebih fokus kepada hal-hal yang membuat diri kita bahagia? Apa dengan mengomentari orang lain bisa membuat lo bahagia?

Biarkan seseorang berdamai dengan dirinya sendiri, menerima kekurangannya sebagai suatu kelebihan yang orang lain tidak miliki. Kita tidak pernah tau apa yang orang lain lalui dalam hidupnya hingga mereka dapat terlihat seperti sekarang ini. Kita juga tidak pernah tau seberapa sulit mereka memaafkan masa lalunya untuk bisa menerima dirinya kembali.

"Kalau memang bicaramu hanya untuk mneyakiti orang lain, bukankah lebih baik kamu diam dan menyelesaikan masalah yang ada pada dirimu sendiri."

Maksud tulisan ini bukan untuk menyindir atau pelampiasan amarah, tapi sengaja untuk membuat siapapun yang membaca untuk lebih aware dan care kepada sesama. Makasih

You Might Also Like

0 comments

EVERY CLOUD HAS A SILVER LINING