Kesenjangan sosial

September 14, 2021






"Menjadi miskin itu menyakitkan.."


Hidup memang sangat misterius, sampai kadang terkesan seperti lelucon. Tapi menjadi miskin, adalah kenyataan pahit yang tidak semua orang dapat ikhlas dalam menjalaninya. Tatkala caci maki serta kata-kata yang merendahkan harga diri dan martabat seseorang, menjadi makanan sehari-hari mereka.

Seperti lirik lagunya Last Child-Diary Depresiku, "Tiada harga diri agar hidupku terus bertahan.."

Apa yang salah dengan si miskin? mereka tetap manusia. Apa yang membedakan si kaya dengan si miskin? Toh mereka masih menghirup udara yang sama. Iya, sama-sama GRATIS.

Seringkali hati gue dibuat miris dengan kenyataan di sekitar, bagaimana masyarakt membeda-bedakan suatu kelompok dengan kelompok yang lain. Misalnya di fasilitas umum, yang paling sering kita jumpai dalam kehidupan kita.

Ketika si miskin berobat dengan fasilitas asuransi yang diberikan pemerintah untuk masyarakat kurang mampu, dan si kaya berobat menggunakan fasilitas asuransi swasta yang dibayar dengan dana pribadinya. Kemudian mereka berobat untuk gejala yang sama, untuk menilai bagaimana tindakkan yang tenaga medis berikan, sering kali dari ekspresi mereka saja sudah dapat menggambarkan segalanya.

Yang satu diambut, disapa, diberikan senyuman dan dilayani sepenuh hati. Sebaliknya, yang satu lagi malah diacuhkan, diperlambat prosesnya, diribetin, boro-boro dapet pelayanan setara, seringkali muka petugas sudah mengkerut saja.

Kenapa? karena yang satu bayar dan yang satu dibayarin?

Manusia yang hidup dalam kemiskinan sudah dipastikan sulit untuk dapat dipandang baik, stigmanya seorang berpenampilan lusuh adalah orang jahat. Yang akan merampas harta si kaya, supaya dapat bertahan hidup.

Faktanya, yang menjadi kaya kebanyakan justru mereka yang suka merampas harta orang lain. Ibarat kata pepatah "Maling teriak maling". Jadi sebenarnya disini siapa yang miskin?

Terlahir miskin bukanlah pilihan, tapi takdir. Dan takdir hanya bisa diubah jika Tuhan telah menghendaki. Ada yang sudah terlahir miskin, hidupnya dipenuhi kegagalan, padahal dia selalu berusha untuk merubah keadaan. Beriman, kerja keras, suka membantu keluarga, rajin beramal, senang menolong sesama, ramah, dan selalu bersyukur.

Namun jika Tuhan belum mengizinkan untuk merubah nasibnya, mereka bisa apa?


***


"Gimana buat makan besok? Siapa lagi yang bisa di kasbon-in? Ongkos buat kerja besok gimana? Harus bayar tagihan listrik, iuran sampah, serta bayar kontrakkan, tapi anak juga minta seragam dan buku paket, gimanaa? Baju udah lusuh buat interview kerja! Pake sepatu apa buat sekolah, semuanya udah jebol? Ga ada internet buat belajar daring, kuota mahal! Hutang pun sudah ditagih.."

Pernah ga terlintas dibenak kalian pertanyaan-pertanyaan diatas? Tentang apa yang orang miskin pikirkan setiap harinya sebelum mereka pergi tidur.

Setiap hari pikiran mereka dipenuhi dengan pertanyaan-pertanyaan yang membuat hati gusar. Tidak  hanya menanggung beban pikiran, ketika berada di luar pun mereka harus merasa kecil hati karna perlakuan segelintir manusia yang selalu asyik menyombongkan diri dan menyiniskan pandangan kepada mereka yang hidupnya secara materi memang kurang beruntung. 

Seakan sertfikat kepemilikkan bumi sudah ada ditangan si kaya.
Kenapa manusia bisa begitu serakahnya?

Padahal manusia terlahir kosong, kemudian diisi. Namun ketika beranjak dewasa kebanyakan dari mereka justru menggunakan isi kepalanya untuk melakukan hal-hal EGOIS.

Sampai lupa bahwa manusia di bumi bukan hanya dirinya sendiri


***

Cerita tentang si miskin dan si kaya seolah tidak pernah ada habisnya. Selalu ada sekat yang membatasi keduanya yang menimbulkan kesenjangan sosial. 

Dalam pendidikan pun banyak ditemui kesenjangan, dimana si miskin seringkali dicecar oleh tenaga pengajar agar menjadi murid yang wajib pintar dalam segala bidang. Kalau tidak, maka mereka dianggap tidak akan bisa bersaing dengan si kaya di masa depan. Atau perkara spp yang nunggak, bagian keuangan selalu meneror si miskin agar jangan sampai tidak membayar jika ingin tetap bersekolah.

Semua selalu tentang uang yang bicara.

Start-nya saja sudah berbeda, kemudian mereka disandingkan untuk menempati posisi yang sejajar. Apakah adil?

Yang kaya, pulang sekolah masih lanjut les A B C D, fasilitas belajar lengkap dan nyaman, uang saku aman, pola hidup rapih dan teratur.

Sebaliknya, si miskin boro-boro les. Pulang sekolah langsung bantu orang tua ngurus rumah, belom lagi masalah keluarga yang selalu hilang-timbul, pola tidur dan makan pun jauh dari kata sehat dan teratur. Bisa bertahan hidup hari ini saja, sudah pencapaian baik yang selalu mereka appreciate setiap harinya.


***

Padahal kalau dipikir-pikir lagi, dunia dulu hanyalah tanah kosong yang sangat lapang. Baru kemudian ditempati manusia pertama yakni, Adam dan Hawa. Tapi pesatnya perubahan yang terjadi, hanya membuat manusia justru berburu manusia lain untuk saling merebut wilayah kekuasaan.

Tidak bisakah manusia hidup hanya untuk saling berdampingan tanpa mempedulikan kekuasaan yang justru membuat garis pembatas semakin nyata adanya?

Apa mungkin sedari dahulu kala pikiran manusia sudah didoktrin dengan kata-kata yang dianggap baik, padahal tujuannya hanya untuk memecah belah manusia diberbagai belahan dunia. Seakan manusia dilahirkan hanya untuk saling merebut kekuasaan dan wilayah.

Meskipun saat ini kata 'merebut' konteksnya bukan lagi soal perang dan sengketa lahan, namun karakter manusia seperti sudah dibentuk untuk harus bisa menjadi yang terkuat. Dan menganggap yang tidak setara dengannya adalah manusia lemah.

Dari kebiasaan nenek moyang itulah, fakta bahwa tekad untuk menjadi yang terbaik masih melekat didalam jiwa anak keturunannya untuk terus menebalkan garis pembatas, sebagai bukti bahwa dunia memang tercipta untuk ditinggali oleh 2 kelompok manusia. Yang kuat dan yang lemah.

Dimana yang kuat selalu diperankan oleh manusia culas yang selalu ingin menang sendiri.

***


Terlahir miskin bukanlah suatu hal yang menyenangkan, tapi bukan pula suatu hal yang buruk. Asalkan sesama manusia bisa saling menghargai. Karena memberi ruang kepada diri sendiri untuk menyalahkan keadaan hanya akan membuang waktu dan tenaga, karna faktanya keadaan memang tidak bisa disamaratakan.

Sama seperti membandingkan apel dengan anggur, jelas ga fair.
Kalau membandingkan ya harus dengan yang seimbang, apel dengan apel misalnya.

Masih mustahil sepertinya saat ini kalau gue berharap untuk si miskin, khususnya ketika berada di fasilitas publik agar dapat diperlakukan secara rata dan setara. Karena ya lihat saja kelakuan manusisa di berita, semakin hari justu semakin seperti binatang liar. Buas dan tidak terkendali.

Gue berharap, semoga suatu hari nanti setiap manusia dapat kembali melibatkan hati nuraninya dalam bertindak. Apalagi terhadap sesama makhluk hidup..




np. si kaya yang dimakasud adalah mereka yang memiliki harta dan jabatan  namun tidak memiliki hati nurani

You Might Also Like

0 comments

EVERY CLOUD HAS A SILVER LINING